Senin, 21 Januari 2013
Ketika Perancis Meremehkan Pemberontak Mali
Bentrok pertama pasukan Perancis dengan militan bersenjata di Mali telah memperlihatkan bahwa para petempur gurun pasir ternyata lebih terlatih dan berperlengkapan lebih baik dibandingkan yang dikira Perancis sebelum intervensi militer ke negara itu pekan lalu.
Pengakuan ini disampaikan sendiri oleh para diplomat Perancis dan PBB di New York. Para pejabat Paris berharap mereka bisa menggalang dukungan dari sekutu-sekutunya untuk berada di belakang Perancis di Mali.
Penculikan puluhan sandera di negara tetangga Mali, Aljazair, di mana pasukan Aljazair melancarkan operasi militer untuk menyelamatkan sandera dari kelompok radikal di sebuah ladang minyak di gurun pasir, juga membangkitkan kekhawatiran bahwa kekerasan kaum yang disebut Barat "Islamis" ini akan berefek bola salju ke perbatasan-perbatasan Mali.
Para diplomat angkat bicara setelah pasukan Perancis untuk pertama kalinya baku tembak langsung dengan para petempur gurun pasir dalam beberapa hari terakhir ini.
Perang di darat adalah kelanjutan dari pengepungan pasukan Perancis terhadap kota Diabaly sehingga memerangkap pasukan pemberontak yang tiga hari sebelumnya menguasai kota ini.
Ternyata tangguh
"Musuh kami ternyata bersenjata lengkap, berperalatan tempur lengkap, sangat terlatih, dan tangguh," kata seorang diplomat Perancis. "Kejutan yang pertama adalah beberapa dari pemberontak ini pantang menyerah."
Pasukan pemberontak lain melarikan diri akibat serangan udara Perancis selama enam hari yang ditujukan untuk menghambat ofensif pemberontak dan mencegah jatuhnya ibukota Mali, Bamako, ke tangan pemberontak.Reuters menulis, pasukan gabungan Perancis, Mali dan Afrika menghadapi koalisi pasukan kubu Islamis yang di dalamnya termasuk sayap Afrika Al Qaeda (AQIM) dan kelompok militan Ansar Dine dan MUJWA.
Pemberontak suku Tuareg, kaum Islamis dan aktivis jihad non Mali bersatu mengadapi ancaman intervensi militer asing yang diserukan oleh Dewan Keamanan PBB bulan lalu.
Sebagian dari kelompok militan ini diyakini telah dilatih dan dipersenjatai oleh pemerintahan mendiang pemimpin Libya Muammar Gaddafi yang tersingkir dan dibunuh pemberontak Libya pada perang saudara 2011.
Sejumlah diplomat menyatakan jelas sudah Perancis telah meremehkan pemberontak. Dan klaim ini sama sekali tidak dibantah pemerintah Paris.
"Saya kira, pasukan pemberontak jauh lebih terlatih dibandingkan yang sebelumnya dikira Perancis dan mereka juga berjuang lebih gigih daripada yang dikira," kata seorang diplomat senior Barat.
Diplomat lain mencatat, 2.000 tentara yang dijanjikan pemerintah Chad yang terkenal ahli bertempur di gurun pasir, belum bergabung dalam pasukan koalisi. Pasukan ini dinantikan kebolehan bertempurnya.
Para diplomat mengatakan bahwa taksiran perang yang kelewat optimistis memang dapat dimengerti, mengingat informasi intelijen yang akurat dan tepat kerap sulit didapat.
Nicolas van de Walle, profesor di Universitas Cornell, menyebut pemberontak telah menunjukkan "pengetahuan mumpuni atas medan yang amat sulit ini, kemampuan mereka untuk bolak balik melintasi perbatasan dan mobilitasnya yang mengesankan."
Aljazair sendiri mengizinkan eks penjajahnya, Perancis, untuk menggunakan wilayah udaranya, yang disebut para diplomat PBB sebagai bentuk komitmen Aljazair mendukung upaya Perancis di Mali.
Aljazair melakukan ini karena tak ingin kelompok militan Mali mundur ke wilayahnya di mana pemberontak Mali bisa melancarkan operasi semacam terjadi Rabu lalu di mana puluhan sandera diculik mereka.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mudah - mudahan Artikel ini bermanfaat..
dan jangan lupa komentar dan like nya.. ^_^